Mengeksplorasi Keberbakatan
USEP SAEFUROHMAN, S.Pd. Guru SDIT Bina Muda Cicalengka dan MA Quwatul Iman
Senin, 8 November 2010 | 19:15 WIB
di unduh jam: 21: 55 WIB, tgl 17 agustus 2011
SUATU hari, seorang bocah berusia 4 tahun, agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke rumahnya membawa secarik kertas dari gurunya. Ibunya membaca kertas tersebut, "Tommy, anak ibu, sangat bodoh. Kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah."
Sang ibu terhenyak membaca surat ini, namun ia segera membuat tekad yang teguh, "Anak saya Tommy, anak berbakat dan bukan anak bodoh. Saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia."
Tommy kecil adalah Thomas Alva Edison yang kita kenal sekarang, penemu listrik, salah satu penemu terbesar di dunia. Dia hanya bersekolah sekitar 3 bulan, dan secara fisik agak tuli, namun itu semua ternyata bukan penghalang untuk terus maju mengembangkan bakatnya.
Gambaran di atas memberikan bukti bahwa setiap anak dipercaya memiliki bakat tersendiri yang akan menjadi kekuatan dirinya untuk menghadapi masa depan yang ingin diwujudkannya. Bukti lain menunjukkan bahwa Imam Syafi'i hafal Alquran ketika usia 7 tahun. Imam Ath-Thabari hafal Alquran pada usia 7 tahun, usia 8 tahun menjadi imam saalat dan mulai menulis hadits pada usia 9 tahun.
Bagaimana kita memahami sebuah keberbakatan? Tannenbaum memandang keberbakatan dari empat klasifikasi yaitu kelangkaan, keunggulan (mengacu pada sensibilitas serta sensitivitas yang lebih tinggi), kuota (keterbatasan jumlah individu yang memiliki keterampilan) dan anomali. Kemudian Renzulli berpendapat bahwa seseorang bisa dikatakan berbakat jika ia menunjukkan kemampuan di atas rata-rata, melakukan hal-hal yang kreatif dan memiliki tekad dalam melaksanakan tugasnya.
Memahami bakat anak merupakan langkah awal dalam membantu mengeksplorasi bakatnya itu untuk meraih masa depannya. Tetapi dalam prakteknya kita sering dihadapkan pada sejumlah tantangan. Tantangan tersebut adalah sulitnya menemukan/menentukan bakat mana yang harus dikembangkan atau bakat apa yang sesungguhnya dimiliki oleh anak. Setiap anak adalah unik karena itu setiap bakat perlu memperoleh perhatian khusus, dan perhatian khusus inilah yang jarang didapatkan anak.
Sekolah sebagai lingkungan yang cukup banyak memberikan intervensi pada anak menjadi tantangan yang perlu diperhatikan dalam perkembangan bakatnya. Hal ini disebabkan disiplin kelas dan prinsip egalitarian yaitu pemerataan terhadap semua siswa dengan harus mengikuti kegiatan yang sama namun tidak diminati anak. Dan tantangan yang cukup berat adalah ketidakseimbangan evaluasi. Pandangan umum yang memandang keberbakatan berdasarkan skor IQ.
Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan di atas, guru dan orang tua harus bekerja sama menemukan strategi cerdas untuk mengembangkan keberbakatan anaknya. Hal-hal yang harus dilakukan yaitu menemukan bakat yang paling menonjol dalam diri anak.
Howard Gardner berkata bahwa satu hal terpenting dalam pendidikan adalah setiap anak menemukan sedikitnya satu hal di mana ia dapat memahami, menjadi bergairah dengannya, merasa gembira, merasa termotivasi untuk meluangkan waktu lebih lama dengannya. Dan Kita harus dapat mengamati dan mendukung anak ketika mereka sedang menikmati sesuatu hal, pada saat mereka terlibat sepenuhnya dalam aktivitas pembelajaran, atau ketika mereka menunjukkan minat yang besar pada beberapa subjek atau pengalaman baru.
Menerima bakat anak meskipun bakat tersebut bukan merupakan kemampuan yang kita inginkan. Seringkali orang tua memaksakan kehendaknya pada anak agar menjadi seseorang sesuai dengan keinginannya padahal itu bukan keinginan anak. Akhirnya anak tidak menikmati dan merasa terpaksa melakukan sesuatu hal karena hanya ingin menuruti kemauan orang tua. Jika hal ini terjadi, anak mulai bersikap memberontak terhadap keinginan orang tua bahkan yang lebih parah, bakat anak mulai hilang dan tertelan terbuang sia-sia.
Untuk mengeksplorasi bakatnya, anak butuh pembuktian diri. Membuktikan diri berarti anak mampu memunculkan ide dan gagasan kreatifnya serta mampu menunjukkan kemampuan untuk merealisasikannya. Guru dan orang tua harus mampu mendorong anak untuk tampil percaya diri menunjukkan kemampuan yang ia miliki.
Terakhir, bagaimanapun juga bakat anak akan terus berkembang jika terus diasah (practicing). Konon, sekitar tahun 1998, tim ahli dari Universitas Exter di Amerika pernah melakukan studi terhadap kehidupan orang-orang berprestasi, seperti Mozart, Picasco, dan orang-orang sukses lainnya.
Terakhir, bagaimanapun juga bakat anak akan terus berkembang jika terus diasah (practicing). Konon, sekitar tahun 1998, tim ahli dari Universitas Exter di Amerika pernah melakukan studi terhadap kehidupan orang-orang berprestasi, seperti Mozart, Picasco, dan orang-orang sukses lainnya.
Hasilnya, mereka merekomendasikan kepada umat manusia untuk membuang mitos yang selama ini diyakini, yakni mitos yang menyatakan bahwa orang-orang berprestasi tinggi itu meraih prestasinya karena Tuhan "mengistimewakan" mereka dengan bakat yang dimiliki.
Ini disebut mitos karena tela'ah di lapangan menyimpulkan, ternyata bukan karena bakat semata yang membuat mereka berhasil, tetapi faktor yang paling banyak mendukung keberhasilan mereka adalah "practicing" atau mengasah bakat, keunggulan atau kelebihan alamiah yang melekat pada dirinya.
Jadi, bakat akan berkembang jika dikenali, dipahami, diarahkan dan dikembangkan. Guru dan orang tualah yang membantu proses pengembangan bakat anak tersebut. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar